Minggu, 29 Juni 2014

KISAH TUKANG KAYU



Seorang tukang bangunan yang sudah
tua berniat untuk pensiun dari
profesi yang sudah ia geluti selama
puluhan tahun.

Ia ingin menikmati masa tua bersama
istri dan anak cucunya. Ia tahu ia
akan kehilangan penghasilan rutinnya
namun bagaimanapun tubuh tuanya butuh
istirahat. Ia pun menyampaikan
rencana tersebut kepada mandornya.

Sang Mandor merasa sedih, sebab ia
akan kehilangan salah satu tukang
kayu terbaiknya, ahli bangunan yang
handal yang ia miliki dalam timnya.
Namun ia juga tidak bisa memaksa.

Sebagai permintaan terakhir sebelum
tukang kayu tua ini berhenti, sang
mandor memintanya untuk sekali lagi
membangun sebuah rumah untuk terakhir
kalinya.

Dengan berat hati si tukang kayu
menyanggupi namun ia berkata karena
ia sudah berniat untuk pensiun maka
ia akan mengerjakannya tidak dengan
segenap hati.

Sang mandor hanya tersenyum dan
berkata, "Kerjakanlah dengan yang
terbaik yang kamu bisa. Kamu bebas
membangun dengan semua bahan terbaik
yang ada."

Tukang kayu lalu memulai pekerjaan
terakhirnya. Ia begitu malas-malasan.
Ia asal-asalan membuat rangka
bangunan, ia malas mencari, maka ia
gunakan bahan-bahan berkualitas
rendah. Sayang sekali, ia memilih
cara yang buruk untuk mengakhiri
karirnya.

Saat rumah itu selesai. Sang mandor
datang untuk memeriksa. Saat sang
mandor memegang daun pintu depan, ia
berbalik dan berkata, "Ini adalah
rumahmu, hadiah dariku untukmu!"

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Ia
sangat menyesal. Kalau saja sejak
awal ia tahu bahwa ia sedang
membangun rumahnya, ia akan
mengerjakannya dengan
sungguh-sungguh. Sekarang akibatnya,
ia harus tinggal di rumah yang ia
bangun dengan asal-asalan.

Inilah refleksi hidup kita!

Pikirkanlah kisah si tukang kayu ini.
Anggaplah rumah itu sama dengan
kehidupan Anda. Setiap kali Anda
memalu paku, memasang rangka,
memasang keramik, lakukanlah dengan
segenap hati dan bijaksana.

Sebab kehidupanmu saat ini adalah
akibat dari pilihanmu di masa lalu.
Masa depanmu adalalah hasil dari
keputusanmu saat ini.

anneahira.com

Rabu, 25 Juni 2014

KISAH SEPOTONG ROTI



Ketika memasuki rumah, seorang ibu tertegun melihat seorang gadis kumuh yang datang menghampirinya. Di balik kekumuhan itu tampak sinar kecantikan si gadis yang tersembunyi. Dengan suka cita, diterimalah si gadis itu, bahkan dinikahkan dengan anak laki-lakinya.

Malam pengantin tiba, duduklah dua sejoli itu di pelaminan. Di depan mereka tersedia berbagai macam santapan dalam jamuan makan malam. Dengan tangan kirinya, pengantin wanita mengambil makanan di depannya dan memasukkan ke mulutnya. Melihat kejadian itu, timbullah rasa malu pada suaminya. “Gunakan tangan kananmu agar lebih sopan sedikit,” tuturnya.

Meski sudah diperingatkan, pengantin wanita itu tetap saja memungut makanan dengan tangan kirinya. Karena kesal dan malu, menggerutulah pengantin pria, “Dasar orang melarat tidak punya kesopanan,” ujarnya. Rupanya pengantin pria tidak mengetahui bahwa istrinya sebenarnya tidak memiliki tangan kanan hingga terpaksa menggunakan tangan kirinya.

Saat itu terdengar bisikan suara dari sudut pintu. “Keluarkan tangan kananmu hai umat-Ku. Engkau telah menyedekahkan kepada-Ku dengan tangan itu. Maka sudah sepantasnya bila Aku menggantinya kembali.” Atas ijin Allah saat itu pula terjulurlah tangan kanan pengantin wanita utuh seperti semula. Maka makanlah ia dengan tangan kanannya menemani pengantin pria makan jamuan malam.

Siapakah sebenarnya gadis manis yang kehilangan tangan kanan itu? Beginilah kisahnya. Dia dulu adalah putri seorang bangsawan yang berada. Parasnya cantik, manis pula budinya. Gadis itu berjiwa sosial dan mengasihi sesama.

Suatu saat terjadi musibah kelaparan dan kemiskinan menimpa Bani Israil. Rakyat yang miskin berkelana mencari sesuap makanan dengan jalan meminta-minta, termasuk seorang peminta yang datang ke rumah gadis itu.

“Berilah aku sedekah sepotong roti, Tuan Putri,” tutur peminta-minta itu. Maka muncullah putri manis itu sambil membawa sepotong roti di tangan kanannya. Diserahkan roti itu dengan tangan kanannya kepada si peminta-minta. “Terimalah sedekahku ini,” tuturnya.

Melihat anak gadisnya memberi sepotong roti kepada peminta-minta, ayahnya yang kikir dan bengis marah bukan main. Ditamparlah roti itu dari tangan anak gadisnya. Bukan itu saja, tangan kanan yang digunakan untuk menyerahkan sepotong roti itu dipotongnya pula. “Kau terlalu lancang, anakku, dan inilah hukumannya,” ujarnya.

Jaman pun beredar, dan nasib orang bisa berbalik. Bangsawan yang semula hidup kaya raya itu berubah jatuh miskin. Allah telah merubah nasib bangsawan itu karena ketidakmanusiawiannya. Harta kekayaannya habis, hidupnya sengsara sampai ia meninggal dalam kemelaratan. Tinggallah anak gadisnya terlantar mengembara sampai tiba di rumah wanita yang kemudian menjadi ibu mertuanya itu.

Allah telah mengembalikan tangan kanan si gadis yang pernah digunakan untuk bersedekah untuk sesamanya.

Diambil dari 50 Kisah Nyata, Menyimgkap Kisah-kisah Hikmah Terpendam (buku 1).

CANDA ABU NAWAS



Ingat Abu Nawas. Ia adalah tokoh kocak yang populer dalam serial ‘1001 Malam” dalam Dinasti Abbasiyah. Tokoh jenaka ini sangat dicintai Khalifah Harun Al Rasyid karena humor-humornya yang cerdik dan jenaka. Di sela-sela kesibukannya, sebagai raja yang adil dan bijaksana, Khalifah Harun Al Rasyid sering mengundang Abu Nawas sekadar untuk bercanda menyegarkan pikirannya kembali.

Sebagai rakyat kecil, Abu Nawas sering menyelipkan kritikan-kritikan lewat humor-humornya yang jenaka sehingga meski mengena, raja tetapi tak bisa marah dibuatnya. Seperti dalam kisah ini, pasar tempat orang berdagang menjadi heboh gara-gara celotehan Abu Nawas. “Kawan-kawan, hari ini saya sangat membenci perkara yang haq, tetapi menyenangi yang fitnah. Hari ini saya menjadi orang yang paling kaya, bahkan lebih kaya daripada Allah SWT,” ujar Abu Nawas.

Omongan Abu Nawas itu sungguh aneh karena selama ini dia termasuk orang yang alim dan taqwa meski suka jenaka. Karuan saja polisi kerajaan menangkap dan menghadapkannya kepada khalifah.

“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata begitu?” tanya khalifah.
“Benar, Tuan,” ujarnya santai.
“Mengapa kau berkata begitu, sudah kafirkah engkau?”
“Saya kira Khalifah-pun sama seperti saya. Khalifah pasti membenci perkara yang haq,” ujarnya.
“Gila benar engkau,” bentak khalifah mulai marah.
“Jangan keburu marah, Khalifah. Dengarkan dulu keterangan saya,” kata Abu Nawas meredakan marah khalifah.
“Keterangan apa yang kau dakwahkan. Sebagai seorang muslim, aku harus membela yang haq, bukan malah membencinya, tahu?” ujar khalifah geram.
“Setiap ada orang membacakan talqin, saya selalu mendengar ucapan bahwa mati itu haq, begitu juga dengan neraka. Tidakkah khalifah juga membencinya seperti aku?” katanya.
“Cerdik pula kau ini,” ujar khalifah setelah mendengar penjelasan Abu Nawas.

“Tapi apa pula maksudmu kau menyenangi fitnah?” tanya khalifah menyelidik.
“Sebentar, Khalifah. Barangkali Anda lupa bahwa di dalam Al-Quran disebutkan bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Padahal Khalifah menyenangi harta dan anak-anak Khalifah seperti saya. Benar begitu, Khalifah?”

“Ya, memang begitu. Tapi mengapa kau mengatakan lebih kaya daripada Allah Yang Mahakaya itu?” tanya khalifah yang makin penasaran itu.

“Saya lebih kaya daripada Allah karena saya mempunyai anak, sedangkan Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,”
“Itu memang benar, tetapi apa maksudmu berkata begitu di tengah pasar sehingga membuat keonaran?” tanya khalifah tak habis mengerti.
“Dengan cara begini saya akan ditangkap dan dihadapkan pada Khalifah,” jawabnya kalem.
“Apa perlunya kamu menghadapku?”
“Agar memperoleh hadiah dari Khalifah,” jawab Abu Nawas tegas.
“Dasar orang pintar,” komentar khalifah. Sidang yang semua tegang untuk mengadili Abu Nawas tersebut menjadi penuh gelak tawa. Tak lupa khalifah memberikan uang sebagai hadiah kepada Abu Nawas dan menyuruhnya meninggalkan istana. Ngeloyorlah Abu Nawas sambil menyimpan dinar di sakunya. “Alkhamdulillah, dapat rejeki,” gumamnya.

Sabtu, 21 Juni 2014

BERUSAHA MEMAHAMI dan MENGERTI ORANG LAIN

Keluarga rukun adalah awal
ketenangan. Kerja tekun adalah
pangkal kemenangan. 

Nah, penataan dan pembinaannya
harus dimulai dari diri sendiri, baru
kita bisa membina yang lain untuk
rukun dan penuh santun.

Jika semua itu kita lakukan,
insyaallah semua kegiatan bisa
sukses, lancar, dan anggun.

Ada pepatah mengatakan:

"Kebenaran dasar tentang kehidupan
adalah bahwa setiap orang selalu
mendekat pada mereka yang
meningkatkan mereka, dan menjauh dari
siapapun yang merendahkan mereka"
- John C. Maxwell

Kawan-kawanku yang luar biasa...

Pribadi yang baik adalah pribadi yang
mampu mengerti dan memahami dirinya
sendiri. Pribadi yang baik adalah
mereka yang mengetahui apa yang
diinginkan, dan tau apa yang menjadi
visi dan misi dalam hidupnya.

Nah, dalam hubungan sosial, marilah
kita untuk tidak selalu menunggu
dipedulikan orang lain, baru kita
peduli. Dengarkanlah terlebih dahulu
orang lain, pahami kondisi dan posisi
mereka. Pahami apa yang menjadi
keinginan mereka, maka dengan
sendirinya kita akan dipedulikan.

Pribadi yang dicari adalah pribadi
yang mampu memahami dan mengerti
orang lain terlebih dahulu, bukan
pribadi yang mengedepankan egoisme,
memaksakan kehendak, atau merasa
paling benar. 

Marilah kita untuk TIDAK menunggu
contoh, baru bergerak mengikuti, tapi
mari kita bergerak terlebih dahulu,
dan jadilah contoh yang baik untuk
orang-orang di sekelilingmu.