Usianya sudah mencapai senja. Dengan
jarak 8 kilometer berjalan kaki, seminggu sekali, ia melakukannya untuk
bisa mencapai mesjid Lamtamot Lembah Seulawah, Aceh, untuk mendengarkan
pengajian.
Jarak 8 kilometer ditempuh dengan jalan
kaki, seminggu sekali, demi bisa ikut mengaji. Padahal, perempuan itu
amatlah sederhana. Berpakaian lusuh, selalu mengenakan kain sarung, baju
kebaya khas wanita usia lanjut, serta jilbab berbahan kaus yang
menjulur hingga ke bawah dada.
Wajahnya belum kempot meski sudah berusia 85 tahun. Badannya tegak sempurna. Punggungnya tak membungkuk sedikit pun. Giginya masih rapi tersusun, tiada yang tanggal. Saat tertawa, tampaklah geliginya yang berbaris rapi menghadiahkan keceriaan jiwanya.
Guratan keriput di pipi tak sanggup memupuskan bias kecantikannya sebagai perempuan Aceh. Berhidung mancung dengan bola mata belok sedikit sayu. Pertama kali bertemu dengannya, ia memakai jilbab berwarna coklat. Berbaju lengan panjang dengan corak bunga dan kain sarung warna hijau pudar. Ia juga mengenakan sandal jepit. Semua itu menyertainya menjemput kebahagiaan.
Nenek tua penuh pesona. Semangatnya memperdalam Islam tak rapuh bersama usia senjanya. Ia masih kuat melangkah menjemput hidayah. Pandangan matanya tak rabun disengat kejamnya dunia. Ia berjalan, terus berjalan, menuju cahaya Ilahi Rabbi. Semua itu terlihat mudah baginya. Sebaliknya, orang-orang yang melihatnya menjadi malu dan jatuh iba.
Ia hidup sebatang kara. Melodi kehidupannya bukan tanpa nada. Nada-nada melankolis sering sekali menemaninya. Kami bertemu dalam pertemuan yang indah, dalam sebuah majelis dzikrullah di Masjid Lamtamot. Aku pembicara dan nenek itu menjadi pendengar yang baik.
Selepas acara, nenek itu melangkah pulang. Pelan-pelan. Tangan kanannya mengayun-ayunkan sebilah tongkat penyangga keseimbangan badan. Ia melangkah berpayah-payah, menelusuri rerimbunan hutan dengan jalan yang tak mulus. Bebatuan besar menghadang. Sejauh delapan kilometer, ya delapan kilometer!.
Ia terseok-seok melintasi jalanan sunyi. Menyeret kaki kanannya yang pincang demi sebuah keyakinan, mempertebal keimanan. Diteguhkannya tekad guna mengikuti acara kajian Islam pekanan yang diselenggarakan KKIA-SWA (Komite Kemanusiaan Indonesia untuk Aceh-Sahabat Wanita dan Anak), setiap Ahad pagi.
Nenek itu terlahir di Lembah Seulawah. Nmanya Haji, karena bertepatan dengan hari lebaran haji. Tanpa embel-embel lain. Hingga sekarang orang biasa memanggilnya Nek Haji. Bukan karena sudah menunaikan ibadah haji, tapi karena itulah nama yang diwariskan oleh orangtuanya.
Dulu, Nek Haji tumbuh menjadi gadis yang baik. Pada usia tujuh tahun, ia mulai mengkaji Islam di sebuah dayah (pesantren) yang tak jauh dari rumahnya di Lembah Seulawah. Setiap hari ia mempelajari kitab pada Tengku Usman. Pelajaran baca tulis, semuanya dengan aksara Arab, bukan abjad ABC.
Beranjak dewasa, Nek Haji mengakhiri masa kesendirian di usia 18 tahun. Waktu itu datang pinangan dari seorang pemuda di kampung tetangga. Nek Haji pun menerima, sebab semua itu sudah ditentukan oleh orangtua. Perjodohan yang biasa pada masa itu. Orangtua bersepakat, anak pun taat. Apalagi Nek Haji memang tak punya pilihan lain.
Menikahlah mereka dengan mahar Rp 20. Selama berumah tangga, ternyata Nek Haji sering dibuat kecewa. Dirinya yang taat beragama harus mendampingi seorang suami yang beragama ala kadarnya. Hanya untuk shalat, ia mesti selalu mengingatkannya. Itu pun masih sering tak dikerjakan.
Bahtera rumah tangganya akhirnya kandas setelah terjalin 12 tahun. Suaminya menginginkan seorang anak tapi Nek Haji bukanlah perempuan subur. Sejak perpisahan itu, ia menjadi sendiri. Tak ada tempat berbagi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari usia 40 tahun hingga kini, ia terus sendiri. Mengupayakan segala kebutuhan hidup dengan jerih payahnya sendiri. Menggarap sawah sendiri atau mengambil upahan di kebun orang lain. Namun Nek Haji masih menyisakan waktu untuk mengajar masyarakat setempat mengaji. Semua dilakoninya tanpa berkeluh kesah.
Nek Haji senantiasa istiqamah. Sedari belia hingga tua renta hidayah selalu dijaganya. Menutup aurat, shalat malam, shalat duha, dan menuntut ilmu, terus dikerjakannya tanpa merasa susah payah.
Sekarang Nek Haji menempati sebuah rumah sederhana di desa Buncala. Berlantai tanah yang tak rata, berdinding papan kusam dengan atap daun rumbia. Perabotan dalam ruangan itu seadanya saja. Tidur beralas tikar, memasak dengan tungku batu bata memakai kayu bakar. Semuanya dijalani dengan kesabaran dan ketulusan. Subhanallah! Masihkah kita tak merasa malu?*
Sumber : http://www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar